yenikadinmodasi.com

Aksi May Day Di Gedung DPR RI Jakarta Dipenuhi Spanduk Dan Orasi

Aksi May Day Di Gedung DPR RI

Aksi May Day – Jakarta, 1 Mei Ibukota Indonesia kembali bergemuruh. Di tengah teriknya matahari dan deru kendaraan ibu kota, ribuan buruh dari berbagai penjuru negeri tumpah ruah di depan Gedung DPR RI. Mereka tidak datang membawa senyum, melainkan membawa kemarahan. Mereka tidak datang untuk sekadar memperingati, tetapi untuk menuntut. Spanduk-spanduk berukuran raksasa membentang di pagar gedung wakil rakyat, bertuliskan kecaman, sindiran, dan desakan atas kebijakan pemerintah yang di anggap mencederai hak-hak pekerja slot.

Setiap jengkal jalan di depan kompleks DPR berubah menjadi panggung orasi terbuka. Lantang terdengar suara-suara perlawanan, menggetarkan tiang-tiang demokrasi yang sudah lama di anggap tuli terhadap jeritan buruh. Hari Buruh Internasional tahun ini bukan perayaan ini adalah peringatan keras.

Spanduk-Sapanduk Besar Dalam Aksi May Day

Tidak ada yang datang dengan tangan kosong. Spanduk-spanduk besar bergambar wajah pejabat negara dengan coretan-coretan merah menyala mendominasi pemandangan. “Cabut Omnibus Law!”, “Stop Upah Murah!”, “Negara Harus Hadir untuk Buruh, Bukan Konglomerat!” demikian bunyi tulisan-tulisan yang di gores dengan penuh emosi. Beberapa bahkan membawa replika keranda mayat bertuliskan “Matinya Keadilan Sosial”, menyindir matinya empati negara terhadap penderitaan kelas pekerja.

Para demonstran bukan sekadar memadati jalanan. Mereka memblokade akses-akses menuju gedung parlemen. Kawasan Senayan lumpuh. Suasana yang biasanya steril dan di jaga ketat berubah menjadi arena terbuka bagi suara rakyat yang muak.

Baca Berita Lainnya Juga Hanya Di yenikadinmodasi.com

Orasi-Orasi yang Membakar Semangat Perlawanan

Dari atas mobil komando, pemimpin-pemimpin serikat buruh silih berganti naik dan menyampaikan pidato yang mengguncang emosi. Suara mereka disambut gemuruh teriakan ribuan peserta aksi. “Kita bukan budak! Kita manusia yang menuntut hak!” teriak seorang orator sambil mengepalkan tangan ke udara.

Suara klakson, genderang, dan yel-yel perjuangan menjadi simfoni jalanan. Semangat mereka tidak padam meski polisi berdiri berlapis-lapis di belakang kawat berduri. “Wakil rakyat? Mereka bukan wakil kita! Mereka wakil pemodal!” pekik salah satu orator lainnya, di sambut sorak sorai yang membelah langit Jakarta.

Mobilisasi Besar dan Rasa Frustrasi yang Meluap

Aksi ini bukan mobilisasi biasa. Serikat pekerja dari berbagai sektor manufaktur, transportasi, pendidikan, kesehatan semua bersatu. Mereka datang dengan bus, truk terbuka, bahkan berjalan kaki. Sebagian besar peserta mengeluhkan nasib mereka yang semakin terjepit pasca berlakunya UU Cipta Kerja. Upah stagnan, PHK massal, kontrak yang tidak manusiawi situs slot depo 10k, dan jam kerja eksploitatif menjadi deretan masalah yang menguras kesabaran.

Satu peserta aksi dari Bekasi menyatakan, “Kami hanya ingin keadilan. Tapi apa yang kami dapat? Omongan kosong dari gedung ini!” sambil menunjuk Gedung DPR yang kini tertutup rapat, dijaga aparat bersenjata lengkap.

Gedung DPR Jadi Simbol Ketulian Kekuasaan

Gedung megah di Senayan itu tak lagi terlihat sakral di mata para buruh. Ia berubah menjadi simbol alienasi, tempat kebijakan-kebijakan merugikan di rancang tanpa mempertimbangkan nasib jutaan pekerja. “Mereka nyaman duduk di ruangan ber-AC, sementara kami banting tulang siang malam demi sesuap nasi,” teriak seorang buruh perempuan yang memimpin massa dari Jawa Barat.

Beberapa massa aksi bahkan menduduki titik-titik penting sekitar gedung, mengibarkan bendera serikat dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Di atas salah satu pagar gedung, spanduk merah menyala bertuliskan “DPR Bukan Dewan Perwakilan Rakyat, Tapi Dewan Pengkhianat Rakyat!” mengejutkan para pengguna jalan yang melintas.

Jakarta Tercekik, Tapi Semangat Tak Akan Padam

Kawasan Senayan dan sekitarnya berubah menjadi titik api. Kemacetan mengular, arus lalu lintas di alihkan, namun semangat perjuangan tak terbendung. Kepulan asap dari flare merah menyala dan petasan kecil yang di tembakkan ke udara menambah dramatis suasana. Aksi ini bukan sekadar simbolis ini adalah peringatan yang nyaring: rakyat sedang marah.

Dari pagi hingga sore, massa tetap bertahan. Tidak ada kata mundur. “Kami akan terus turun ke jalan, sampai suara kami didengar, sampai kebijakan berubah,” tegas salah seorang koordinator aksi di tengah lautan manusia dan bendera yang berkibar.

Exit mobile version